Mar 19, 2012

METODE PEMAHAMAN HADITS IMAM SYAFI’I

Pendahuluan

Sebagai bangsa dengan penganut Islam terbesar di dunia, dan penganut madzhab Syafii khususnya, boleh jadi umat islam Indonesia tidak banyak mengetahui bahwa sang Imam adalah orang yang sangat besar peranannya dalam merumuskan dan mensistematiskan metodologi pemahaman hukum Islam.

Ketika nabi Muhammad SAW masih hidup, maka segala persoalan bisa langsung ditanyakan kepada beliau. Keputusan yang beliau tetapkan itu berdasarkan wahyu ataupun merupakan kebijaksanaan beliau sendiri bahkan tidak jarang melalui musyawarah dengan para sahabat beliau. Dan para sahabat pun yakin bahwa perkara apapun yang ditetapkan adalah jalan yang terbaik bagi mereka sekalipun itu merupakan kebijaksanaan Rasulullah sendiri. Hanya dalam beberapa hal saja Rasulullah mengambil suatu keputusan tanpa melalui musyawarah, yaitu ketika beliau yakin benar tentang apa yang terbaik yang harus dilakukan.

Setelah Rasulullah wafat, estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Khulafa al-Rasyidun. Pada masa-masa tersebut terjadi berbagai masalah yang tidak didapati ketika Rasulullah Saw masih berada di tengah-tengah mereka. Sehingga meskipun sangat terbatas, muncul ijtihad sahabat yang pada akhirnya diteruskan oleh para generasi-generasi selanjutnya setelah mereka. Dalam hal ini termasuk Imam Syafi’i yang memberikan alternatif dalam memahami hukum Islam (Fiqh) melalui nash-nash yang terdapat dalam al-Al Quran, al-Sunnah maupun Ijma’ sahabat dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

Pembahasan

1. Biografi Imam Syafii

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i. Beliau lahir di Ghaza yaitu sebuah kota yang terletak di utara Sina dan selatan Palestina, pada tahun 150 H dan wafat tahun 204 H. Sebagian ulama mengatakan bahwa beliau lahir pada hari dimana Imam Abu Hanifah meninggal dunia.

Pertumbuhan dan pengembaraan beliau dalam menuntut ilmu dapat dibagi dalam tiga dekade waktu:

a. Tumbuh dan berkembang dengan paman-paman beliau di Mekah. Sejak kecil sudah terlihat kejeniusan beliau. Pada umur 7 tahun hafal al-Quran 30 juz. Hafal al-Muwatha’ Imam Malik dalam usia 10 tahun kemudian mempelajari Fiqh lewat Syeikh Muslim bin Kholid Azzanjiyi. Selain itu, beliau juga banyak sekali hafal syair-syair Arab. Periode pertama ini berakhir pada saat beliau berumur 15 tahun.

b. Pada marhalah ini beliau pindah ke Madinah untuk mendalami al-Muwatha’ pada Imam Malik bin Anas sampai beliau menguasainya. Dari sini terlihat bakat-bakat beliau dalam masalah-masalah Fiqh. Beliau terus mengikuti Imam Malik sampai Imam Malik meniggal dunia tahun 179 H.

c. Pada periode ini beliau pindah ke Irak untuk mempelajari Fiqh Hanafi tahun 184 H. Dengan berpindahnya beliau ini, berarti telah selesai pengembaraan beliau dalam menuntut ilmu dari Mekah, Madinah dan Irak kemudian aktif berfatwa dan mengajar di Masjid al-Haram.

Dari ketiga dekade waktu diatas, dari mulai menuntut ilmu sampai memberikan fatwa, itu semua merupakan permulaan dari tumbuh dan berkembangnya Madzhab Syafi’i. Dengan lahirnya madzhab baru ini merupakan keberhasilan ijtihad pada abad ke-2 H. Madzhab ini semakin berkembang pesat terutama pada saat Imam Syafi’i menulis karyanya terbesar dalam ilmu Ushul Fiqh. Tatkala beliau datang ke Irak untuk kedua kalinya tahun 195 H, orang-orang berbondong-bondong datang kepadanya untuk berguru, mulailah Imam Syafi’i menyiarkan madzhabnya. Dalam pengajaran-pengajarannya terlihat bahwa ijtihad-ijtihad beliau berbeda dengan Imam Abu Hanifah maupun Imam Malik. Semuanya itu terus berlanjut sampai beliau menuangkan ijtihad-ijtihad lamanya ke dalam sebuah buku “al-Kitab al-Baghdadi”. Karena ijtihad-ijtihadnya tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada ketika itu, beliau kemudian berfikir untuk melakukan perjalanan ke negara lain. Tahun 199 H, Kairo menjadi tujuan perjalanan beliau dalam usaha mendirikan sekolah yang menitik-beratkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan Fiqh. Dan mengajarkan madzhab ‘baru’ beliau. Dikatakan baru, karena banyak mengganti ijtihad-ijtihad lama (qadim) yang beliau sampaikan waktu di Irak. Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada (Mesir). Kemudian beliau mengumumkan bahwa yang barupun termasuk dalam madzhab beliau yaitu Madzhab Syafi’i.

2. Metode Pemahaman Hadits Imam Syafii

Dalam kitabnya “Ikhtilaful Hadits” Imam Syafii menitikberatkan pada empat poin penting, yaitu:

a. ‘Am dan Khos (Umum dan Khusus)

Khobar ‘am: berlaku untuk semua dan dalam keadaan yang umum. Seperti jumlah rakaat dalam shalat, puasa ramadhan dan larangan berbuat keji.

Khobar khos: kekhususan hukum yang berlaku untuk kejadian tertentu. Seperti misalnya sujud sahwi.

b. Hadits Ahad
Imam Syafii menerima hadits ahad sebagai hujjah dengan syarat:
- Orang yang meriwayatkan terpercaya dalam agamanya
- Dikenal jujur dalam periwayatan
- Memahami apa yang diriwayatkan
- Menyadari suatu lafadz yang mungkin dapat mengubah arti hadits
- Periwayatan hadits harus bil lafdzi (kata demi kata)
- Perawi hendaknya menghafal di luar kepala, atau mencatatnya dengan cermat apabila meriwayatkan dengan catatan.

Contoh khobar ahad adalah hadits tentang perpindahan kiblat dari baitul muqaddas ke baitullah, tentang Abu Thalhah dan beberapa orang yang yang meminum khamr kemudian ketika turun ayat pengharaman khamr mereka lantas membuang khamr tersebut.

c. Kehujjahan Sunnah

Kewajiban menerima sunnah merupakan perintah Allah dalam Al – Quran dimana kita diwajibkan taat kepada Rasulullah Saw dan tunduk kepada keputusannya. Dalam sebuah pernyataannya yang sangat terkenal Imam Syafi’i berkata : “Jika ada Hadits yang shahih, maka itulah madzhabku”. Dan Imam Syafi’i berkata pula : “Jika Hadits yang ada pada kalian itu shahih, maka gunakanlah dan tinggalkanlah pendapatku”.

d. Naskh dan Mansukh

Naskh Al-Quran hanya boleh dengan Al-Quran. Demikian pula naskh Sunnah hanya boleh dengan sunnah. Dalil yang dikemukakan Imam Syafi’i diantaranya, yaitu firman Allah SWT :
“Ayat mana saja yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia)lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS. Al-Baqarah:106)

e. Hadits Shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Quran, dan tidak pula bertentangan satu dengan yang lainnya.
Jika ada hadits-hadits yang tampak bertentangan, maka Imam Syafii mempunyai metode tarjih sebagai berikut:


1. Mengkompromikan hadits-hadits yang berbeda , menjadikan yang sebagian umum dan sebagian yang lain khusus.
2. Mengkompromikan hadits-hadits yang berbeda dengan melihat asbabul wurudnya.
3. Mengkompromikan hadits-hadits yang berbeda demean menjadikan yang satu naskh bagi yang lain.
4. Mengambil hadits yang paling kuat karena lebih mirip demean Al-Quran, sunnah, qiyas, atau sanad yang paling terpercaya.
5. Mengkompromikan hadits-hadits yang berbeda dengan mendahulukan hadits yang berisi perintah atau larangan, daripada hadits yang berisi anjuran atau pilihan.
6. Mengkompromikan hadits-hadits yang berbeda tentang anjuran berbuat sesuatu pada level mubah.




3. Aplikasinya dalam Fiqh

a. Mengkompromikan hadits-hadits yang berlawanan dengan menjadikan yang sebagian umum dan sebagian yang lain khusus.

Misalnya dalam bab thaharah. Allah berfirman dalam QS. Al-Furqan: 48
     
“…dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih”

Dan QS. An-Nisa: 43

      
“…Jika kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)”

Dalam hadits sahih riwayat Abu Said Al-Khudri disebutkan, ada seorang lelaki yang berkata kepada Rasulullah SAW: Sesungguhnya sumur bidho’ah telah tercemar oleh anjing dan darah haid. Maka Rasul bersabda: “Air tidak ternajisi oleh sesuatu apapun”.
Dalam hadits lain riwayat Walid bin Katsir disebutkan, Rasulullah SAW bersabda: “Air 2 kullah tidak najis”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah diantara kamu buang air di air yang menggenang, kemudian mandi darinya”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Jika bejanamu dijilat anjing, maka cucilah tujuh kali.”
Menurut Imam Syafii, hadits-hadist tersebut tidak ada yang bertentangan, dan semuanya kita ambil. Menurutnya, air yang tercemar beda najis selama air tersebut tidak berubah warna, rasa dan baunya, maka air tersebut tetap suci. Sedangkan jika berubah salah satu sifatnya, air tersebut tetap suci jika banyaknya 2 kullah. Sesuai demean hadits Abu Hurairah tentang bejana yang terkena liur anjing.

b. Mengkompromikan hadits-hadits yang berlawanan dengan memperhatikan asbabul wurudnya.

Misalnya, hadits tentang larangan buang hajat dengan menghadap kiblat.
Diriwayatkan dari Sufyan bin ‘Uyaynah dari Zuhri dari ‘Atha bin Yazid al- Laitsi dari Abu Ayyub al-Anshori bahwa Rasulullah SAW bersabda: “ Janganlah kalian menghadap kiblat atau membelakanginya ketika buang hajat. Akan tetapi menghadaplah ke arah yang lain.
Abu Ayyub berkata: Kami telah sampai Syam dan mendapati tempat-tempat buang hajat (WC) yang telah dibangun. Maka kami berpaling dan memohon ampun kepada Allah.
Kemudian diriwayatkan dari Malik dari Yahya bin Said dari Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Abdullah bin Umar, Rasululllah SAW bersabda: “Jika kalian buang hajat janganlah menghadap kiblat dan baitul muqoddas.”
Abdullah bin Umar berkata: Aku pernah melihat Rasulullah SAW buang hajat dengan menghadap baitul muqoddas.
Menurut Imam Syafii tidak ada pertentangan antara kedua hadits ini. Tentang larangan menghadap kiblat atau membelakanginya, adalah jika tidak ada penutup yang menghalangi orang tersebut, seperti yang dilakukan orang-orang gurun. Namun jika seseorang buang hajat di dalam WC di rumahnya, maka hal tersebut diperbolehkan.

c. Mengkompromikan hadits-hadits yang berlawanan dengan menasakh yang satu dengan yang lainnya.

Imam Syafii membatasi naskh dengan 3 cara:

1. Ada penetapan tertulis dari Rasulullah SAW, atau dari sebagian sahabat, atau dari orang yang mendengarnya dari sahabat.
2. Kesepakatan bahwa hadits yang satu menasakh yang lain.
3. Dengan mengetahui urutan haditsnya. Yang awal dinasakh oleh yang dating kemudian.
Misalnya:
Imam Syafii meriwayatkan hadits Sahl bin Saad: Air berasal dari air ketika permulaan Islam, lalu kami meninggalkannya. Kemudian kami diperintahkan untuk mandi ketika bertemu dua kemaluan.

d. Memilih hadits yang paling rajih diantara hadits-hadits yang bertentangan karena lebih dekat kepada Al-Quran, sunnah Rasul, qiyas, atau sanad yang lebih kuat.

Misalnya:

Diriwayatkan oleh Imam Syafii dari Malik bin Anas dari Abdullah bin Abu Bakr dari Umrah, bahwa ia mendengar dari Aisyah- dan ia menyebutkan kepada Aisyah, bahwa Abdullah bin Umar berkata: Sesungguhnya mayit akan disiksa dengan tangisan orang yang hidup- Maka Aisyah berkata: Ia tidak berbohong, hanya mungkin salah atau lupa. Sesungguhnya Rasulullah SAW melewati mayit perempuan yahudi dan anggota keluarganya menangisinya. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “ Mereka menangis dan perempuan itu akan disiksa di dalam kuburnya”.

Dan Imam Syafii mengeluarkan hadits marfu’ sperti hadits Ibnu Umar dari ayahnya dengan sanad yang berbeda, bahwa Aisyah berkata: Allah merahmati Umar- Demi Allah, Rasulullah SAW tidak pernah pernah bersabda bahwa Allah akan menyiksa seorang mukmin akibat tangisan keluarganya. Akan tetapi Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menambah siksa seorang kafir atas tangisan keluarganya. Seperti dalam QS. Al-Isra: 15
      
“….dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain.”

Imam Syafii lebih memilih riwayat Aisyah dengan dalil Al-Quran dan Sunnah. Ayat lain yang dijadikan dalil adalah QS. An-Najm: 38
     
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”

QS. Az-Zalzalah: 8
      
“dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”


Sedangkan dari dalil Sunnah: Rasulullah SAW bertanya kepada seorang laki-laki: Apakah ini anakmu? Jawab laki-laki tersebut: Iya. Kemudian sabda Rasulullah: Dia tidak dihukum karena kejahatanmu dan kamu tidak dihukum karena kejahatannya.

e. Mengkompromikan hadits-hadits yang berlawanan, dengan mengutamakan hadits-hadits perintah dan larangan atas hadits-hadits pilihan.

Misalnya:
Imam Syafii meriwayatkan hadits dari Sufyan bin Uyaynah dari Zuhri dari Salim dari ayahnya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika dating hari Jumat, maka mandilah”.
Dan diriwayatkan dari Malik dan Sofwan bin Muslim dari Atho’ bin Yasar dari Abu Said al-Khudri, bahwa Rasululah SAW bersabda: “Mandi pada hari jumat wajib bagi setiap yang bermimpi”
Hadits kedua menempati posisi wajib, sedangkan yang pertama adalah anjuran atau kebaikan jika dilakukan.

f. Mengkompromikan hadits-hadits yang berlawanan dalam level mubah.

Imam Syafii mengumpulkan hadits- hadits yang bertentangan sebagai kebebasan bagi seorang mukmin untuk memilih satu diantara amalan-amalan yang sama, yang perbedaannya dalam level mubah.
Perbedaan ini banyak terjadi di kalangan fuqaha, khususnya dalam hal furu’iyyat. Seperti yang berkaitan dengan ibadah, dalam masalah doa iftitah; ada yang membacanya dan ada yang tidak, masalah duduk iftirasy, perbedaan bacaan tasyahud, basmalah secara jahr atau sirri atau bahkan tidak membacanya, kemudian perbedaan dalam berwudhu, apakah tiga-tiga, dua-dua, atau satu-satu, dan semuanya benar.
Ada beberapa cara lagi yang dilakukan Imam Syafii dalam mengkompromikan hadits-hadits yang berbeda, yang tidak disebutkan secara rinci tapi bias kita cermati dari contoh-contoh hadits yang ada dalam bukunya “Ikhtilaful Hadits”, diantaranya:

1. Jika ada dua hadits dhoif yang bertentangan, maka Imam Syafii memilih yang paling kuat dengan adanya hadits lain sebagai penguat. Seperti misalnya ada hadits yang sama maknanya dari sanad yang berbeda, atau kandungannya sesuai dengan apa yang dilakukan sahabat.
2. Imam Syafii lebih memilih hadits yang lebih jelas petunjuknya terhadap maksud hadits.
3. Imam Syafii lebih memilih hadits yang rawi tsiqahnya lebih banyak.



4. Kesimpulan

Imam Syafii banyak melakukan pemahaman kontekstual atas hadis nabi. Pemahaman kontekstual yang dilakukan Imam Syafii berangkat dari kenyataan bahwa adanya hadis-hadis yang secara zahir terlihat bertentangan. Indikasi yang dapat ditangkap dari pernyataan Syafii adalah sulit diterima adanya hadis-hadis yang mengandung makna yang kontradiksi (mukhtalif). Karena itu, di samping beberapa cara penyelesain lain semisal nasakh mansukh dan tarjih, Syafii menyelesaikannya dengan kompromi yang salah satunya adalah pemahaman kontekstual. Pemahaman yang dilakukan imam Syafii sangat bertumpu pada sabab al-wurud hadis.




Daftar bacaan:

Muhammad bin Idris as-Syafii, Ikhtilaf al-Hadits, Darul kutub al-ilmiyah, Lebanon, 1986

Dr. Naji Lemin, Manhaj al-Imam as-Syafii fi Ilmi Mukhtalif al-Hadits –makalah ilmiah

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © L. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block | Start My Salary
Designed by Santhosh