Aug 24, 2010

Pasal 34 ayat 1


Pendidikan itu tidak penting, kata haji Sarbini (Jaja Miharja) dalam film Alangkah Lucunya Negeri Ini (ALNI). Film besutan sutradara kondang sekaligus actor senior Dedy Mizwar ini menggambarkan keadaan Indonesia sesungguhnya. Buah dari sistem Negara kapitalis-demokratis disajikan  dengan sangat apik melalui media hiburan bernama film.


Mengapa Haji Sarbini sampai berpendapat demikian? Dia dan sekian juta lulusan perguruan tinggi yang kesulitan mendapat pekerjaan telah kecewa dengan lembaga ini, yang hanya menguras kantong tapi tak menjanjikan masa depan. Faktanya memang demikian. Lembaga pendidikan yang diprivatisasi menjadikan pendidikan terasa mahal bagi orang-orang kelas menengah kebawah. Bukan hal yang aneh jika kemudian muncul sindiran "Orang miskin dilarang sekolah".

Film ini dibuka dengan sebuah ironi. Gedung-gedung pencakar langit di pusat Jakarta yang berdekatan dengan area kumuh yang (parahnya) ada plang besar bertuliskan "Dilarang buang sampah sembarangan". Film ini dibintangi oleh Reza Rahadian yang memerankan tokoh Muluk, lulusan sarjana menejemen yang kesulitan mendapat pekerjaan. Adegan kemudian berlanjut di pasar ketika Muluk  (masih sibuk) kesana kemari mengapit map berisi ijazah. Ia, dan sekian juta pengangguran berpendidikan lainnya, ditolak perusahaan bukan karena bodoh. Ia menjadi pengangguran bukan karena tak mau berusaha, tapi karena mayoritas perusahaan mensyaratkan pengalaman untuk masuk di perusahannya. Bagaimana akan berpengalaman jika lulusan perguruan tinggi tak diberi kesempatan untuk mencoba?

Muluk kemudian bertemu dengan Komet (Angga Putra), pencopet yang dipergokinya sedang beraksi di pasar. Pertemuan ini membawa Muluk pada "dunia pekerjaan" yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Memenej uang hasil copet. Sesuai memang dengan keilmuan yang ditekuninya, menejemen.

Dengan keyakinan yang tinggi mendidik remaja-remaja copet, Muluk berhasil mengambil hati mereka, meski sebelumnya ditolak. Dengan kontrak bagi hasil 10 persen Muluk menjalin kerjasama dengan Jarot (Tio Pakusadewo) pelindung copet. Pekerjaan pun dimulai. Muluk bekerja dengan professional sebagai pengembang sumber daya manusia, seperti yang dikatakannya kepada ayahnya (Dedy Mizwar) dan tetangga-tetangganya.  Nyatanya memang begitu. Muluk tak mau makan "gaji buta" dari para copet itu. Muluk ingin mendidik mereka agar punya masa depan cerah dan bisa berhenti nyopet.

Diajaklah Samsul (Asrul Dahlan) dan Pipit (Tika Bravani), dua tetangganya yang sama-sama pengangguran berpendidikan. Samsul yang lulusan sarjana pendidikan ditugaskan mengajari anak-anak baca tulis, sedangkan Pipit menjadi guru agama. Proyek pengembangan sumber daya manusia yang dijalankan Muluk sejauh ini sukses. Anak-anak mulai bisa membaca dan mau sholat, meski masih nyopet. Hingga kemudian trio haji, Haji Makbul (ayah Muluk), haji Sarbini dan Haji Rahmat (Slamet Rahardjo) mengacaukan (sekaligus menyadarkan) semuanya. Mereka berkeras ingin melihat perusahaan tempat Muluk, Pipit dan Samsul bekerja.

Film ini ditutup dengan sangat mengharukan. Muluk ditangkap petugas trantib ketika mencoba menyelamatkan anak-anak dari kejaran petugas yang sedang razia. Komet dan anggotanya, copet pasar yang telah beralih profesi sebagai pengasong ternyata tak luput dari "kejaran". Kalau nyopet resikonya dikejar masa dan digebuki, kalau ngasong resikonya dikejar petugas trantib. Akhirnya Muluklah yang menyerahkan diri untuk ditangkap sebagai ganti anak-anak, karena ia yang menyuruh mereka ngasong. Adegan Muluk yang melambaikan tangan dan mengacungkan jempol sebagai isyarat kepada anak-anak untuk pantang menyerah ditambah tangisan anak-anak yang melepas Muluk sungguh mengharukan. Apalagi diiringi syahdu lagu "Tanah Airku" ciptaan Ibu Sud.

Menonton film ini membuat kita sadar bahwa PR kita sebagai warga Negara Indonesia sungguh besar. Mengentaskan kemiskinan, memerangi korupsi, menghapus kebodohan, memperbaiki moral tidak hanya menjadi tugas orang berdasi di gedung DPR. Itu tugas kita semua, yang masih merasa menjadi warga Negara Indonesia. Kalau kita tidak bisa merubah sistem, minimal kita tidak tunduk pada sistem. Kalau kita tidak bisa mengeluarkan 31 juta jiwa dari jurang kemiskinan, minimal kita membantu satu dua orang tetangga kita yang kekurangan. Kalau kita tidak bisa memberikan lapangan pekerjaan kepada para sarjana pengangguran, minimal jangan menjatuhkan mental mereka ketika akhirnya mereka memilih untuk beternak cacing.

Akhirnya hanya optimisme dan persatuan yang dapat menyelamatkan Indonesia. Ibarat musafir, kita harus melihat Indonesia sebagai tujuan, bukan keberangkatan. 


gambar diambil dari sini 

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © L. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block | Start My Salary
Designed by Santhosh